Distribusi Normal dan Gado-gado

Standard

Di suatu hari, pada perkuliahan statistika, seorang dosen menjelaskan perihal distribusi normal.

Dosen: “Distribusi normal diperlukan untuk memberikan interpretasi atau makna data kepada sebuah distribusi nilai yang tersebar secara acak pada suatu populasi berdasarkan frekuensi kemunculannya, bla bla bla” (suaranya makin menghilang)

Terdengar suara bisik-bisik dari belakang keles, eh kelas.

Ani: *Nguap* “Sus, nanti siang kita makan dimana?”

Susi: “Ssst, gw lagi fokus belajar, urusan makan biar menjadi permasalahan ketika waktu makan, masing-masing kegiatan memiliki permasalahannya sendiri-sendiri, jadi berhentilah kuatir anak muda, Ok. Btw, pak dosen kok inaudible gitu sih?”

Tuti maju ke depan menghampiri pak dosen.

Tuti: “Pak, kok suaranya makin habis? Makan ini dulu pak,” katanya sambil menyodorkan snack stickers.

Dosen: *inaudible* “Oh iya, makasih ya tut,” pak dosen pun memakan snack tersebut dan menyimpan hadiah sticker seorang personil dari idol group lokal di kota itu.

Dosen: “Oke, saya lanjutkan. Permasalahan dari distribusi normal adalah, ketika ada pencilan datum, yaitu yg akan merusak ekspektasi dari datanya, tapi, ah sudahlah,” dia tidak bisa menjelaskan lagi, masih lapar dan tak bertenaga.

Badu, seorang anak lemot tapi pintar sepertinya tidak mengerti sehingga melontarkan batu eh, pertanyaan ke pak Dosen.

Badu: “Pak, saya ga ngerti, bisa kasih contoh distribusi normal dan pencilan yang bisa merusaknya tidak pak?”

Lola: “Pak, pak, pencilan itu apa ya pak? Sejenis alat tulis lain? Pencil-an, sejenis pensil gitu pak?”

Dosen: “Oke, terima kasih pertanyaannya ya Badu dan Lola. Terutama Lola, kamu loadingnya agak lama ya. Saya agak bersyukur kamu ga menanyakan kita sedang kuliah apa. Anak-anak, ada yang bisa bantu saya untuk menjelaskan ke Badu dan Lola?”

Susi: “Saya pak, saya pak, saya pak!!!!!”

Dosen: “Anak-anak, adakah yang bisa?”

Pak dosen pura-pura tidak menghiraukan Susi.

Susi: “Saya pak, please, saya”

Dosen: “Jika tidak ada yang bisa, saya akan suruh asisten saya yang sekarang berada di Bekasi untuk mengadakan asistensi darurat untuk menjelaskan pertanyaan tadi”

Susi: “Saya pak, SAYAAAAAAA”

Dosen: “Baiklah,” katanya tertunduk lesu. “Silahkan Susi, jelaskan ke Badu dan Lola”

Susi: *dengan penuh semangat* “Distribusi normal itu, ibaratnya kaya gado-gado yang ada cabenya. Pokoknya kita bisa pesen ke bapak tukang gado-gadonya. Pak beli gado-gado. Terus kita bisa request, gado-gadonya mau pedes, sedang, atau ringan. Kalo bisa digambarkan dengan graf, maka yg pedes ini puncaknya agak curam, kalo yang sedang agak rendah, sedangkan yang ringan bisa dibilang agak rata. Kalau aku paling suka sedeng ya. Soalnya aku tuh paling ga bisa makan tanpa cabe, cabe itu ngangenin banget. Pokoknya, ga bisalah makan tanpa cabe. Kalo ga pake cabe hambar. Ga enak. Ga doyan. Dimuntahkan. Tapi, si cabe ini sayangnya suka mengkhianati aku. Gado-gado yang pedasnya sedang ini aku harapin sih sepanjang aku makan pedasnya akan merata. Tapi nyatanya. Suka ada pencilannya. Ada cabe masih utuh. Dan ketika itu kemakan. Haduh, luar biasa. Muka merah, mata terbakar, mulut seperti neraka. Duh, si cabe utuh ini adalah sang pencilan terkutuk. Emak-emak di kampungku menyebut cabe utuh ini ‘ranjau’. Bisa bikin kita yang lagi happy-happy makan mati sekejap kalau terkena. Para statistikawan pun membenci pencilan-pencilan macam ini. Data sudah terplot bagus-bagus tiba-tiba ada datum dengan nilai extrim masuk ke populasi. Saya pun demikian bencinya, karena saya susah menyimpulkan kalo gado-gado itu pedasnya masih sedang atau tidak, pada bagian lain dia hambar sekali, tapi pada bagian lain kemakan ranjaunya. Hiks.”

Susi pun meneteskan air mata setelah berapi-api menjelaskan analoginya. Dia teringat pengkhianatan cabe di gado-gado makan siangnya kemarin.

Pak Dosen hanya bisa menepuk muka ketika hal ini terjadi lagi. Sudah berkali-kali susi menganalogikan pelajaran dengan makanan.

Di samping Susi, ada Ani yang memasang muka sebal.

Ani: “Masing-masing kegiatan punya masalahnya sendiri-sendiri mukelu jauh Sus. Belom-belom udah nyangkutin makanan sama perkuliahan.”

5 alasan kenapa masa-masa akhir perkuliahan itu paling kelabu

Standard

Hi semua, gw lagi mau ngeblog soal jaman gw kuliah dulu nih. :3

Kalo dipikir-pikir dari masa-masa perkuliahan, yang paling kaga seru itu pas semester terakhir (buat yang 3.5) ato tahun terakhir (buat yang 4). Hal ini bukan tanpa alasan sebenarnya, dan alasannya pun wajar dan harusnya bisa dimaklumin. Oke, mulai aja deh masuk ke list. (Yay, everybody loves list)

1. Di masa-masa ini lo yang paling tua

Dengan asumsi tingkat kelulusan mendekati 90%, itu berarti kebanyakan senior lo udah pada lulus. Sisanya yang 10% pun timbul tenggelam. Ya udah, terima aja, lo yang paling tua sekarang. Salah satu hal yang ga enak dari mahasiswa tua adalah, kita lebih gengsi terhadap sekitar kita. Misalnya pas makan siang. Mahasiswa yang paling senior paling males duduk bareng ama junior, apa lagi junior yang ga perna minta tanda-tangan. Ini yang bikin mahasiswa tua itu merasa sepi tiap harinya. Padahal lo juga ngarep banget kan dideketin ama junior. #hukshuks

2. Lo ga sejago waktu lo masih muda dan giat-giatnya belajar

Beberapa junior kadang-kadang datang ngucluk2 ke elo dalam beberapa kali kesempatan. Tentunya pas lo lagi ga sibuk. Karena mereka tahu bahwa lo itu asdos pada mata kuliah tertentu, mereka cenderung bertanya juga ke elo soal mata kuliah lain. Nah, mahasiswa senior itu sayangnya suka banyak lupa materi2 tahun pertama atau tahun kedua. Garuk-garuk pala deh lo. Nih junior pun mulai nyium kalo lo sebenarnya ga gitu ngebantu. Mereka pun nyari-nyari kesempatan buat undur diri. Hehehe, kalo soal pelajaran mata kuliah tahun pertama dan tahun kedua, mahasiswa tahun ketiga ini sedang jago-jagonya. Otak mereka masih kenceng. Mahasiswa senior ini kadang2 ngiri sama mahasiswa tahun ketiga. Mereka kangen otak mereka yang cemerlang dan skill analisa yang mereka miliki dulu sewaktu berada di tahun ketiga. Belom lagi citra mereka yang meningkat waktu dicari-cari junior buat minta assistance.

3. Dari awal kuliah lo termasuk orang yang lebih gaul ke senior

Oke, ini yang lumayan sedih. Jaman dahulu kala, waktu lo masih lucu-lucunya, lo suka sksd sama senior. Nanya2 kuliah lah, minta diajarin ini itu lah, pengen diatur senior lah. Pokoknya lo suka banget interaksi sama orang yang lebih berpengalaman. Nah, sekarang lo pun sadar kalo lo adalah yang paling senior. Memulai interaksi dengan junior satu tahun kebawah pun sudah telat. Mereka terlanjur ga ngenal lo. Sakit banget kan.

4. Temen-temen lo udah pada caur kemana-mana

Ini sedih juga sih. Lu cuma bisa ketemu sama temen-temen satu angkatan kalo lagi makan siang bareng. Itu pun biasanya bersyukur banget kalo bisa makan siang bareng. Bayangin ya, jam pelajaran mahasiswa tingkat akhir itu ga mahasiswai banget. Si A kuliah Senin Jumat, si B, Selasa Kamis, si C, Senin Rabu, etc. Itu pun kuliah hari yang sama tapi si D jam 10 kelar dan pulang sedang si E baru masuk jam 2. Lo bakal kangen banget deh sama temen2 lo satu angkatan.

5. Ga bebas nge-hedon

Lo masih niat ngehedon? Ya ga papa sih. Ngehedon bareng teman2 boleh boleh aja. Tapi, kalo inget skripsi, lo bakal mikir 2 kali deh buat hedon. Apalagi dengan koreksian segambreng dengan asumsi lo sambil kerja banting tulang jadi asdos. Atau riset-riset yang harus dilakukan dan baca paper buat dipresentasiin. Belom lagi kalo lo punya banyak proyek sampingan sebagai ajang pembuktian bahwa mata kuliah-mata kuliah yang lo ambil 3 tahun terakhir itu ada gunanya. Oh iya… don’t forget about lots of competition you join. Apa lagi ya… hmmm, masih mikir mau ngehedon?

Cukup segitu dulu deh listnya. Kalo dipikir-pikir emang kelabu banget masa-masa akhir perkuliahan. Mahasiswa tahun akhir itu seperti dikodratkan untuk hanya bergaul dengan komputer.

Nah, gimana sih waktu tahun2 akhir perkuliahan lo dulu? Seru-seru aja atau persis kaya yang gue paparin. Sharing dong di comment 🙂